Penggelapan pajak di Indonesia sudah bukan lagi hal yang
asing. Hampir setiap harinya masyarakat disuguhkan dengan berita mengenai korupsi, tentu saja penggelapan pajak pun
masih termasuk dalam tindak korupsi. Seperti yang kalian lihat dalam video
diatas, itu adalah salah satu contoh berita mengenai penggelapan pajak yang
saya lampirkan dalam blog ini. Kalau saya lampirkan semua berita tentang
penggelapan pajak pastinya anda tidak akan lagi mampir ke blog saya….. x__x
Kembali ke persoalan mengenai penggelapan pajak. Sebelumnya
saya akan bertanya sedikit kepada anda.
Apa yang anda ketahui tentang pajak?
Apakah anda rutin membayar pajak?
Apakah anda tahu bahwa pajak adalah penyumbang terbesar APBN
dan APBD?
Apakah anda perduli dengan Indonesia? Apa anda hanya cuma
bisa mengkiritk pemerintah tanpa pernah berkontribusi untuk kemajuan Indonesia?
Jawablah dalam hati kalian masing-masing.
kalo ga bisa jawab ya… browsing sana...
Dalam penulisan blog kali ini saya akan menjelaskan serta memberikan contoh kasus mengenai penggelapan pajak. Penjelasan yang akan salah berikan hanya sebatas pengertian, akibat dari penggelapan pajak dalam berbagai bidang serta ringkasan KUP mengenai tindak pidana perpajakan.
PENGERTIAN PENGGELAPAN PAJAK
Penggelapan Pajak (Tax Evasion)
Penghindaran pajak dengan cara illegal adalah penggelapan pajak. Hal ini
perbuatan kriminal, karena menyalahi aturan yang berlaku.
Penggelapan pajak (tax evasion) secara umum bersifat melawan hukum (ilegal) dan
mencakup perbuatan sengaja tidak melaporkan secara lengkap dan benar obyek
pajak atau perbuatan melanggar hukum (fraud) lainnya.
Penggelapan pajak terjadi sebelum SKP dikeluarkan. Hal ini merupakan
pelanggaran terhadap undang-undang dengan maksud melepaskan diri dari
pajak/mengurangi dasar penetapan pajak dengan cara menyembunyikan sebagian dari
penghasilannya.
Secara garis besar Penggelapan Pajak (Tax
Evasion) adalah upaya penyelundupan pajak, Suatu skema memperkecil pajak
yang terutang dengan cara melanggar ketentuan perpajakan (illegal).
Contoh kasus
penggelapan pajak :
- Melaporkan penjualan lebih kecil dari yang seharusnya, omzet 10 milyar hanya dilaporkan dalam laporan keuangan perusahaan sebesar 5 milyar misalnya.
- Menggelembungkan biaya perusahaan dengan membebankan biaya fiktif;
- Transaksi export fiktif,
- Pemalsuan dokumen keuangan perusahaan
- tidak melaporkan sebagian penjualan
- memperbesar biaya dengan cara fiktif
- memungut pajak tetapi tidak menyetor
Wajib pajak kecil
cenderung melakukan penggelapan pajak (Tax Evation). Karena:
- Tidak punya kemampuan untuk mencari celah undang-undang pajak.
- Apabila dokter/profesional bebas menyembunyikan sebahagian pendapatannya, kecil kemungkinan diketahui oleh fiscus karena dia sendiri yang mencatat penghasilannya.
- Penghasilan para profesional bebas sulit dilacak oleh fiscus karena biaya yang dibayar oleh pasien kepada dokter tidak mengurangi penghasilan kena pajak seseorang. Biaya tersebut dianggap sebagai konsumsi.
DJP (Direktorat Jendral Pajak) sebagai otoritas
pajak di Indonesia dalam melaksanakan tugasnya mempunyai dua fungsi besar yaitu
fungsi pelayanan dan fungsi penegakkan hukum. Contoh pelayanan adalah
memberikan pelayanan pendaftaran NPWP, Pengukuhan PKP, Sosialisasi Perpajakan
dan lain-lain. Selain fungsi pelayanan tersebut, DJP juga melakukan penegakkan
hukum bagi pelanggar hukum pajak:
Penegakkan hukum ringan (Soft
Law Enforcement) dikenakan atas pelanggaran yang bersifat administrasi,
yaitu berupa denda dan/atau bunga (sanksi administrasi umum), misalnya telat
lapor SPT tahunan Orang pribadi dikenakan denda Rp. 100.000,-
Penegakkan hukum berat (Hard
Law Enforcement) dikenakan atas tindak pidana perpajakan, sanksi yang
dikenakan adalah sanksi administrasi khusus dan sanksi pidana.
Berikut ringkasan beberapa pasal dalam KUP yang dikenakan atas tindak pidana perpajakan diantaranya:
Pasal 38: Perbuatan alpa dalam pidana pajak, Tidak menyampaikan SPT, Menyampaikan SPT tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar (bukan untuk pertama kali), dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan Negara, dikenakan sanksi pidana Kurungan maksimal satu tahun, atau Denda maksimal dua kali pajak yang terutang atau kurang dibayar.
Pasal 39 Ayat (1): Perbuatan sengaja :
- Tidak mendaftarkan diri;
- Menyalahgunakan NPWP/NPPKP;
- Tidak menyampaikan SPT;
- Menyampaikan SPT yang isinya tidak benar/tidak lengkap;
- Menolak untuk dilakukan pemeriksaan;
- Memperlihatkan pembukuan palsu/dipalsukan;
- Tidak menyelenggarakan/memperlihatkan/meminjamkan Pembukuan;
- Tidak menyimpan buku, catatan, dokumen cfm pasal 28 ayat (11) UU KUP;
- Tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong/dipungut,
Sehingga dapat
menimbulkan kerugian pada pendapatan Negara, dikenakan sanksi pidana Penjara
minimal 6 bulan maksimal 6 Tahun dan Denda minimal 2 kali maksimal 4
kali jumlah pajak yang terutang/kurang dibayar
Pasal 39 ayat (2) : Pengulangan perbuatan Pidana; Ancaman Pidana sebagaimana dimaksud (Pasal 39 Ayat (1)) dilipatkan dua, Dengan syarat belum lewat satu tahun selesai menjalani pidana, melakukan lagi Tindak Pidana
Pasal 39 ayat (3) : Perbuatan Percobaan Pidana, Percobaan :
Pasal 39 ayat (2) : Pengulangan perbuatan Pidana; Ancaman Pidana sebagaimana dimaksud (Pasal 39 Ayat (1)) dilipatkan dua, Dengan syarat belum lewat satu tahun selesai menjalani pidana, melakukan lagi Tindak Pidana
Pasal 39 ayat (3) : Perbuatan Percobaan Pidana, Percobaan :
- Menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak NPWP atau NPPKP.
- Menyampaikan SPT dan/atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap.
(Dalam rangka
mengajukan restitusi atau kompensasi atau pengkreditan pajak), sanksi Pidana
Penjara Minimal 6 Bulan Maksimal 2 Tahun dan Denda Minimal 2 Kali Maksimal 4
Kali jumlah restitusi atau kompensasi atau pengkreditan pajak.
Pasal 39A : Sengaja Menerbitkan dan/atau menggunakan Faktur pajak, bukti potput, dan /atau SSP yang tidak berdasarkan transaksi sebenarnya atau Menerbitkan faktur pajak tetapi belum dikukuhkan sebagai PKP, sanksi pidana Penjara minimal 2 Tahun maksimal 6 Tahun Serta Denda Minimal 2 Kali Maksimal 6 Kali jumlah faktur pajak atau Potput atau SSP.
Pasal 41A : Tidak memberikan keterangan/bukti, Apabila dalam menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan diperlukan keterangan atau bukti dari bank, akuntan publik, notaris, konsultan pajak, kantor administrasi, dan/atau pihak ketiga lainnya, terkait dengan pemeriksaan pajak, penagihan pajak, atau penyidikan tindak pidana atas permintaan tertulis dari Direktur Jenderal Pajak, pihak-pihak tersebut wajib memberikan keterangan atau bukti yang diminta. (Pasal 35 ayat (1) UU KUP).
Setiap orang dengan sengaja tidak memberi keterangan atau bukti, atau memberi keterangan atau bukti yang tidak benar dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah).
Pasal 41B : menghalangi/mempersulit penyidikan, Setiap orang yang dengan sengaja menghalangi atau mempersulit penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp75.000.000,00 (tujuh puluh lima juta rupiah).
Pasal 41C : Tidak memberikan data/informasi :
Pasal 39A : Sengaja Menerbitkan dan/atau menggunakan Faktur pajak, bukti potput, dan /atau SSP yang tidak berdasarkan transaksi sebenarnya atau Menerbitkan faktur pajak tetapi belum dikukuhkan sebagai PKP, sanksi pidana Penjara minimal 2 Tahun maksimal 6 Tahun Serta Denda Minimal 2 Kali Maksimal 6 Kali jumlah faktur pajak atau Potput atau SSP.
Pasal 41A : Tidak memberikan keterangan/bukti, Apabila dalam menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan diperlukan keterangan atau bukti dari bank, akuntan publik, notaris, konsultan pajak, kantor administrasi, dan/atau pihak ketiga lainnya, terkait dengan pemeriksaan pajak, penagihan pajak, atau penyidikan tindak pidana atas permintaan tertulis dari Direktur Jenderal Pajak, pihak-pihak tersebut wajib memberikan keterangan atau bukti yang diminta. (Pasal 35 ayat (1) UU KUP).
Setiap orang dengan sengaja tidak memberi keterangan atau bukti, atau memberi keterangan atau bukti yang tidak benar dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah).
Pasal 41B : menghalangi/mempersulit penyidikan, Setiap orang yang dengan sengaja menghalangi atau mempersulit penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp75.000.000,00 (tujuh puluh lima juta rupiah).
Pasal 41C : Tidak memberikan data/informasi :
- Setiap instansi pemerintah, lembaga, asosiasi, dan pihak lain, wajib memberikan data dan informasi yang berkaitan dengan perpajakan kepada Direktorat Jenderal Pajak (Pasal 35 ayat (1) UU KUP) jika setiap orang dengan sengaja tidak memenuhinya, diancam pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00.
- Setiap orang dengan sengaja menyebabkan tidak terpenuhinya kewajiban Pasal 35A ayat (1), pidana kurungan paling lama 10 (sepuluh) bulan atau denda paling banyak Rp800.000.000,00
- Setiap orang dengan sengaja tidak memberikan data dan informasi yang diminta oleh Direktur Jenderal Pajak, pidana kurungan paling lama 10 (sepuluh) bulan atau denda maks. Rp800.000.000,00
- Setiap orang dengan sengaja menyalahgunakan data dan informasi perpajakan sehingga menimbulkan kerugian kepada Negara, pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp500.000.000,00.
Pasal 43: Penyertaan Perbuatan Pidana,
- Ketentuan sebagaimana pasal 39 dan 39A berlaku juga bagi wakil, kuasa, pegawai dari wajib pajak atau pihak lain yang menyuruh melakukan, turut serta melakukan, menganjurkan, membantu melakukan tindak pidana
- Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41A dan 41B berlaku juga bagi yang menyuruh melakukan, yang menganjurkan atau yang membantu melakukan tindak pidana di bidang perpajakan.
Pasal 40 : Daluarsa: Tindak Pidana di Bidang Perpajakan tidak dapat dituntut setelah lampau sepuluh tahun sejak:
- saat terutangnya pajak,
- berakhirnya Masa Pajak,
- berakhirnya Bagian Tahun Pajak, atau
- berakhirnya Tahun Pajak yang bersangkutan
Pasal 34: Rahasia
Jabatan:
Pejabat dan Tenaga Ahli dilarang memberitahukan kepada pihak lain segala
sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh WP dalam rangka jabatan
atau pekerjaannya.
Kecuali pejabat dan tenaga ahli :
Kecuali pejabat dan tenaga ahli :
- sebagai saksi atau saksi ahli dalam sidang pengadilan; atau
- ditetapkan Menteri Keuangan untuk memberikan keterangan kepada pejabat lembaga negara atau instansi Pemerintah yang berwenang melakukan pemeriksaan dalam bidang keuangan negara.
Sanksi karena :
- ALPA: Pidana kurungan selama-lamanya satu tahun, dan denda setinggi-tingginya Rp25.000.000,00
- SENGAJA : Pidana Penjara selama-lamanya dua tahun, dan denda setinggi-tingginya Rp50.000.000,00
Pasal 36A: Pegawai
Pajak yang:
terbukti melakukan pemerasan dan pengancaman kepada Wajib Pajak, menguntungkan
diri sendiri, diancam dengan pidana Pasal 368 KUHP;
dengan maksud menguntungkan diri sendiri secara melawan hukum dengan menyalahgunakan kekuasaannya:
dengan maksud menguntungkan diri sendiri secara melawan hukum dengan menyalahgunakan kekuasaannya:
- memaksa seseorang untuk memberikan sesuatu,
- untuk membayar atau
- menerima pembayaran, atau
- untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri,
diancam dengan pidana
Pasal 12 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor dan perubahannya.
Akibat-Akibat Penggelapan Pajak
1. Dalam bidang keuangan
Pengelakan pajak merupakan pos kerugian bagi kas negara karena dapat
menyebabkan ketidakseimbangan antara anggaran dan konsekuensi-konsekuensi lain
yang berhubungan dengan itu, seperti kenaikan tarif pajak, keadaan inflasi,
dll.
2. Dalam bidang
ekonomi
Pengelakan pajak sangat mempengaruhi persaingan sehat diantara para pengusaha.
Maksudnya, pengusaha yang melakukan pengelakan pajak dengan cara menekan
biayanya secara tidak wajar. Sehingga, perusahaan yang mengelakkan pajak
memperoleh keuntungan yang lebih besar dibandingkan pengusaha yang jujur.
Walaupun dengan usaha dan produktifitas yang sama, si pengelak pajak mendapat
keuntungan yang lebih besar dibandingkan dengan pengusaha yang jujur.
Pengelakan pajak menyebabkan stagnasi (macetnya) pertumbuhan ekonomi atau
perputaran roda ekonomi. Jika mereka terbiasa melakukan pengelakan pajak,
mereka tidak akan meningkatkan produktifitas mereka. Untuk memperoleh laba yang
lebih besar, mereka akan melakukan pengelakan pajak.
Langkanya modal karena wajib pajak berusaha menyembunyikan penghasilannya agar
tidak diketahui fiscus. Sehingga mereka tidak berani menawarkan uang hasil
penggelapan pajak tersebut ke pasar modal.
3. Dalam bidang
psikologi
Jika wajib pajak terbiasa melakukan penggelapan pajak, itu sama saja
membiasakan untuk selalu melanggar undang-undang. Jika wajib pajak menggelapkan
pajak, maka wajib pajak mendapatkan keuntungan bersih yang lebih besar. Jika
perbuatannya melangggar undang-undang tidak diketahui oleh fiscus, maka dia
akan senang karena tidak terkena sangsi dan menimbulkan keinginan untuk
mengulangi perbuatannya itu lagi pada tahun-tahun berikutnya dan diperluas lagi
tidak hanya pada pelanggaran undang-undang pajak, tetapi juga undang-undang
yang lainnya.
Contoh Kasus Penggelapan Pajak
DUGAAN PENGGELAPAN PAJAK OLEH PERUSAHAAN BAKRIE GROUP
Ada ungkapan big is beautiful. Tapi
sepertinya ungkapan itu tidak seluruhnya benar. Hal ini seperti yang dialami PT
Bumi Resources Tbk. Salah satu produsen tambang batu bara terbesar di Indonesia
ini sedang pusing lantaran dituding menggelapkan pajak sebesar Rp2,1 triliun.
LSM Indonesian Corruption Watch (ICW) menilai, jumlah itu membengkak menjadi
Rp11,426 triliun setelah perusahaan diduga kurang membayar royalti pada periode
2003-2008.
Seperti diketahui, dugaan penggelapan pajak PT Bumi
Resources Tbk, termasuk anak usahanya PT Arutmin Indonesia, dan PT Kaltim Prima
Coal (KPC) sebesar Rp2,1 triliun pada tahun 2007 itu tengah diproses oleh Polda
Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan. Bedanya, untuk dugaan penggelapan
pajak KPC tengah disidik Polda Kaltim. Lalu Polda Kalsel menyelidiki dugaan
penggelapan pajak Arutmin.
Koordinator Monitoring dan Analisa Anggaran ICW,
Firdaus Ilyas mengatakan pembengkakan utang perusahaan tambang milik Aburizal
Bakrie itu didapat setelah ICW menelaah data-data primer seperti laporan
keuangan perusahaan, prospektus, laporan pada pemegang saham, data produksi
serta penjualan batu bara perseroan. Data itu juga kami dapat dari hasil audit
BPK. Lalu, setelah sejumlah dokumen tersebut diteliti, ditemukan dua kenakalan
yang dilakukan perseroan. Pertama, ditemukan kekurangan setoran Dana Hasil
Penjualan Batubara (DHPB) pada 2003-2008, mencapai AS$143,189 juta. “Tetapi,
angka itu belum disesuaikan dengan laporan keuangan persero 2008 yaitu
AS$608,178 juta.
Kedua, emiten berkode saham BUMI itu kurang membayar
royalti periode 2003-2008 yang jumlahnya mencapai AS$477,299 juta. Alhasil,
total kewajiban Bumi pada negara mencapai AS$1,228 miliar. Apabila menggunakan
kurs Rp9.300, maka kewajiban BUMI mencapai Rp11,426 triliun. Atas dasar itu,
ICW mendesak Departemen Keuangan memanggil dan memeriksa kantor akuntan publik
yang mengaudit laporan keuangan BUMI. Selain itu, Departemen Keuangan juga
harus memanggil Direktur Jenderal Mineral Batu Bara dan Panas Bumi Departemen
ESDM. Soalnya, dari Direktur Jenderal ini, bisa diketahui berbagai
hal yang mempengaruhi penerimaan BUMI seperti harga batu bara.
Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak sendiri tidak
tinggal diam. Institusi yang bernaung di bawah Departemen Keuangan ini terus
melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap tunggakan pajak tiga perusahaan
Grup Bakrie tersebut. Dirjen Pajak Mochamad Tjiptardjo menegaskan, jika ingin
penyidikan dihentikan maka Grup Bakrie harus membayar kewajiban lima kali lipat
dari total tunggakan. Jadi, harus bayar denda 400 persen. Kalau ditambah pokok
tunggakan, jadi 500 persen. Selain harus melunasi kewajibannya, ada prosedur
lain yang harus ditempuh Grup Bakrie jika ingin penyidikan kasus ini
dihentikan. “Mereka harus mengajukan permohonan ke Menkeu, kemudian dari Menkeu
ke Kejagung untuk minta penghentian penyidikan”. Langkah ini tertuang dalam
Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 130/PMK.03/2009 tentang Tata Cara
Penghentian Penyidikan Tindak Pidana Di Bidang Perpajakan Untuk Kepentingan
Penerimaan Negara.
PMK yang berlaku sejak 18 Agustus 2009 itu
menyatakan, proses penyidikan kasus tindak pidana bidang perpajakan dapat
dihentikan melalui izin dari Menkeu, setelah wajib pajak (WP) melunasi pajak
yang tidak atau kurang dibayarkan atau yang seharusnya tidak dikembalikan serta
setelah membayar sanksi administrasi berupa denda sebesar empat kali dari pajak
yang tidak atau kurang dibayar atau yang seharusnya tidak dikembalikan.
Kejaksaan Agung (Kejagung) dapat menghentikan
penyidikan kasus pidana bidang perpajakan maksimal selama enam bulan sejak tanggal
surat permintaan yang dibuat Menkeu. Sebelumnya, Dirjen Pajak diminta Menkeu
meneliti dan memberi pendapat sebagai bahan pertimbangan. Surat yang diajukan
WP kepada Menkeu harus dilengkapi pernyataan berisi pengakuan bersalah dan
kesanggupan pelunasan pembayaran pajak dan sanksi.
Ditjen Pajak yang mengetahui kasus ini mengatakan
kemungkinan penambahan nilai kerugian negara terjadi karena dalam proses
penyidikan yang dilaksanakan, penyidik menemukan komponen biaya pada PT
Bumi Resources Tbk (BUMI) yang tidak sesuai dengan seharusnya, sehingga
menyebabkan besaran pajak yang dibayarkan menjadi kecil. Itu salah satunya dari
biaya bunga pinjaman. Kami sedang menelusuri, nilainya bisa mencapai
ratusan miliar rupiah. Komponen biaya merupakan salah
satu komponen yang bisa dikurangkan dari penghasilan bruto dalam rangka
penentuan penghasilan kena pajak (PKP). Namun, berdasarkan ketentuan
perpajakan, tidak semua komponen biaya bisa dikurangkan dari penghasilan bruto.
Saat meminta penjelasan lebih lanjut mengenai
komponen biaya apa saja yang dimaksud, dia enggan menjelaskannya. Pelaksana
tugas (Plt) Direktur Intelijen dan Penyidikan Direktorat Jenderal Pajak Pontas
Pane ketika dikonfirmasi enggan berkomentar banyak soal perkembangan penyidikan
ketiga kasus tersebut. Namun, menurut dia, Ditjen Pajak terus
melaksanakan proses penyidikan meski terjadi resistensi dari pihak saksi maupun
tersangka.
Direktorat Jenderal Pajak saat ini mengusut kasus
dugaan pidana pajak oleh tiga perusahaan Grup Bakrie, yakni PT Kaltim Prima
Coal (KPC), Bumi, dan PT Arutmin Indonesia. Ketiganya diduga menyampaikan surat
pemberitahuan (SPT) tahunan tahun pajak 2007 secara tidak benar. Untuk KPC dan
Bumi, Ditjen Pajak telah melakukan penyidikan sementara untuk Arutmin masih dalam
proses pemeriksaan bukti permulaan. Terkait pelaksanaan penyidikan
tersebut, mengungkapkan tim penyidik Ditjen Pajak mengalami
kesulitan memanggil saksi. Tidak tahu kenapa, tapi memang informasi yang kami
dapat menyebutkan di dalam mereka (Grup Bakrie) sudah ada tekanan.” Menurut
dia, pemanggilan terhadap tersangka juga mengalami hambatan karena yang
bersangkutan tidak pernah memenuhi panggilan pemeriksaan yang dilayangkan
penyidik pajak dengan alasan sedang sakit. “Kami sudah panggil
sekali, nanti tak lama lagi akan kami panggil kedua kali. Kalau juga tak
dipenuhi akan kami panggil paksa dibantu Kepolisian,” tegasnya.
Dengan adanya masalah ini, kita bisa melihat bahwa
sebagai perusahaan yang telah Go Publik masih adanya indikasi bahwa
perusahaan-perusahaan tersebut masih belum menerapkan prinsip-prinsip good
corporat governance, walaupun masih sebatas dugaan tetapi asumsi-asumsi
negative telah mengarah kesana. Untuk bisa memastikannya lebih jauh maka harus
dilakukan penyidikan lebih lanjut, tetapi untuk dampak sementara akibat adanya
dugaan ini, investor sudah mulai ragu untuk menanamkan modalnya pada
perusahaan-perusahaan tersebut.
Didalam konsep good governance setiap informasi yang
hendakkan disampaikan harus terbuka dan akurat, jauh dari manipulasi dan
hal-hal yang menyesatkan, sebab dengan diterapkannya Prinsip corporate
governance diharapkan dapat meningkatkan kualitas laporan keuangan, yang
pada akhirnya meningkatkan kepercayaan pemakai laporan keuangan, termasuk
investor.
UPAYA PENEGAKAN HUKUM TERHADAP DUGAAN PENGGELAPAN PAJAK
Pajak adalah salah satu tiang yang sangat penting
bagi perekonomian di sebuah Negara. Tanpa pajak, Negara tidak mampu membiayai
pembangunan. Tanpa pajak pula, pemerintah mustahil bisa menggaji para pegawai
dan mensejahterakan rakyatnya. Karena itu, pemerintah harus sangat serius dalam
menindak para pengemplang pajak. Tapi, apa buktinya, premis itu jauh lebih
gampang diucapkan dari pada dilakukan. Faktanya pemerintah kerap gagal
menghadapi para pengemplang dan penggelap pajak.
Munculnya kembali kasus dugaan pengemplangan pajak
yang dilakukan oleh kelompok usaha Bakrie, menambah bukti yang kuat betapa
sulitnya bertindak tegas terhadap wajib pajak (WP) ukuran besar. Yang cenderung
terjadi adalah pemeerintah lebih banyak bersikap longgar terhadap mereka.
Tersebutlah 3 perusahaan group Bakrie yang dilaporkan telah lalai membayar
pajak sebesar Rp 2,1 Triliun. Perusahaan itu adalah PT.Bumi Resource, PT Kaltim
Prima Coal (KPC), dan PT Arutmin Indonesia. PT Bumi menunggak pajak sebesar Rp
376 Milyar, KPC sebesar 1,5 Triliun, dan PT Arutmin senilai 300 Milyar.
Kasus tentang itu sebenarnya telah muncul tahun lalu
terkait dengan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) 2007. Namun, pemerintah tidak
tegas menyelesaikan kasus itu, sehingga kini muncul kembali dengan persoalan
yang lebih kompleks karena urusan pajak itu di kait-kaitkan dengan kasus Bank
Century, yang ditenggarai mempengaruhi sikap golkar yang kini dipimpin Aburizal
Bakrie. Sudah tepat langkah Ditjen Pajak untuk memidanakan group Bakrie dalam
kasus dugaan pengemplangan pajak itu. Tunggakan pajak sebesar 2,1 Triliun itu
adalah jumlah yang sangat bernilai bagi rakyat.(Media Indonesia) Anak
perusahaan group Bakrie itu terancam membayar denda tunggakan pajak sebesar 4
kali lipat dari nilai pokok tunggakan / diwajibkan membayar sebesar 10,5
Triliun.
Pengemplang pajak biasanya disebut juga dengan
korupsi, kejahatan pajak, mengemplang hutang yang ditanggung oleh rakyat.
Terkait dengan masih tingginya tunggakan pajak yang dilakukan sejumlah wajib
pajak di Indonesia dan penyalahgunaannya maka hal tersebut seharusnya segera
dituntaskan karena dinilai merugikan perekonomian Negara. Diharapkan pemerintah
segera menangani setiap pelanggaran pajak dan diberi sanksi pidana pajak yang
tegas.
Hukum merupakan cermin yang memantulkan kepentingan
masyaraat. Karena kepentingan masyarakat selalu berubah, maka secara
operasional hukum juga dituntut untuk selalu mengubah dirinya. Dewasa ini,
dunia hukum di Indonesia sedang dalam masa disintegrated. Disatu satu pihak,
tatanan hukum lama yang berasal dari hukum kolonial dan hukum adat, bahkan
hukum yang telah dibentuk setelah kemerdekaan banyak yang telah usang. Dan
dilain pihak, tatanan alternatif dari hukum baru belum juga terbentuk. Bahkan platform yang
jelas belumpun diketahui, ditambah dengan sector pengetahuan ekonomi yang
semangatnya digenjot menggebu-gebu, tercipalah distorsi kedalam sektor bisnis
dan ekonomi itu sendiri.
Konsekuensi logisnya, tidak terlalu mengherankan
jika dewasa ini sangat merajalela terjadinya praktek bisnis yang tidak fair.
Seperti persaingan curang, monopoli, ologopoli, kartel, pemberian fasilitas dan
akumulasi sumber daya ekonomi di tangan satu atau dua konglomerat, bisnis dan
perizinan yang dilandasi pada koneksi, suap menyuap dan lobi yang kental,
birokrasi dan prosedur yang berbelit-belit dan termasuk juga adanya dugaan
skandal penggelapan pajak yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan dibawah naungan
Bakri Group. Hal ini menandakan hukum bisnis tidak berperan, baik karena
kevakuman, kebobrokan atau ketidak jelasan aturan main, atau karena Law
Enforcement nya yang kurang sigap kalaupun tidak dibilang lumpuh total.
Bila terdapat pelanggaran, konsekuensinya akan
berhadapan dengan sanksi hukum sesuai dengan jenis dan kualitas pelanggaran.
Upaya untuk melakukan penegakan hukum harus berlangsung secara konsisten dengan
tetap memperhatikan kepentingan perkembangan Pasar Modal. Badan Pengawas Pasar
Modal (Bapepam) berdasarkan UU Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal memiliki
kewenangan yang sangat besar untuk melakukan pembinaan, pengaturan dan
pengawasan kepada industri pasar modal diharapkan mampu menjalankan fungsinya
sesuai dengan yang diamanatkan UU tersebut.
Disamping itu, untuk menjalankan pengawasan secara
represif, Bapepam diberi kewenangan melakukan pemeriksaan, penyelidikan dan
penyidikan seperti diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 1995
tentang tata cara pemeriksaan di Pasar Modal. Dalam rangka itulah maka sesuai
dengan amanah yang digariskan dalam Undang-Undang Pasar Modal, bahwa dalam
rangka menyempurnakan pengaturan pasar modal telah dikeluarkan serangkaian
peraturan yang memberikan kepastian dan jaminan hukum bagi para pelaku pasar
modal.
Mengenai tingkat kesalahan yang disyaratkan adalah
berupa “kesengajaan”(mengetahui), dan “kelalaian” (kurang hati-hati). Ini
berarti sebagai General Law dapat dikatakan bahwa setiap pihak yang
terlibat di pasar modal dapat dimintakan pertanggung jawab hukum, apabila
padanya terdapat unsur kesalahan.
Dalam hukum pidana kesalahan dapat terwujud
kejahatan dan pelanggaran, sedangkan dalam hukum perdata, jika tanggung jawab
tersebut berasal dari perbuatan melawan hukum (in casu Pasal 1365 BW) atau malpraktek,
maka wujudnya dapat berupa perbuatan dengan unsur kesengajaan (on purpose),
atau kurang hati-hati (negligence). Jika perbuatan tersebut bersumber dari
suatu perjanjian (vide buku ke-III BW), maka kesalahan tersebut akan berwujud
ingkar janji (on default). Disamping itu kesalahan dapat pula dalam bentuk
kesalahan moral, sehingga mereka harus tunduk pada masing-masing kode etik
profesi, ataupun kesalahan yang ancamannya hanya berupak sanksi administrasi.
Bersalah tidaknya para pelaku di Perusahaan-perusahaan
bakri Group juga dapat dikukur dengan kriteria dalam bidang apakah akibat dari
kesalahan itu terjadi. Kalau terjadi kekeliruan dalam bidang keuangan, maka
akuntan public ikut bertanggung jawab, dan kalau dalam bidang hukum, konsultan
hukumnya dan layak diminta tanggung jawab. Tanggung jawab profesi penunjang
juga terbatas mengingat mereka pada prinsipnya hanya mempunyai tanggung jawab
“berasumsi” atau tanggung jawab “di atas kertas”. Artinya, tanggung jawab
mereka hanya beralaskan asumsi bahwa seluruh dokumen yag tersedia adalah benar.
Misalnya jika ada diantara dokumen tersebut yang tidak benar isinya atau palsu
sehingga analisis mereka menjadi tidak akurat, maka hal tersebut berada diluar
tanggung jawab mereka. Pihak yang memalsukan dokumenlah yang lebih bertanggung
jawab.
Pihak penjamin emisi juga penyandang tanggung jawab
yang berat, mengingat dialah yang sangat jauh terlibat dalam proses emisi
saham, dan dia pulalah yang memegang komando dan menentukan policy. Disamping
itu, Bapepam, sebagai badan pengawas juga tidak bisa dilepaskan tanggung jawab
hukumnya. Dalam ilmu hukum dikenal prinsip siapa yang bersalah harus dihukum.
Kalau Bapepam yang besalah, yaitu adanya unsur kesengajaan atau keteledoran,
maka tidak reasonable jika Bapepam dilepaskan dari tanggung jawabnya,
sungguhpun ada kewajiban menempatkan kalimat dalam prospectus yang berbunyi
Bapepam tidak memberikan pernyataan menyetuju dan seterusnya.
Pada saat ini upaya berkesinambungan dilakukan oleh
Pemerintah dan masyarakat agar hukum dapat mengayomi dan menjadi landasan bagi
kegiatan masyarakat dan pembangunan. Adanya kepastian hukum merupakan wahana
untuk timbulnya kepercayaan kepada pasar. Salah satu syarat agar pasar modal
mampu mengembangkan perekonomian Indonesia adalah kejahatan di pasar modal
khususnya penggelapan pajak harus dapat ditemukan dan diselesaikan melalui
hukum yang berlaku baik itu kebiasaan maupun karena telah diatur dalam aturan
di pasar modal.
Walaupun media sedang gencar-gencarnya memberitakan
skandal penggelapan dana pajak yang paling besar dalam sejarah yang ada, namun
perlawanan dari pihak Bakri Group terhadap hal tersebut tetap ada, yakni upaya
PT Kaltim Prima Coal (KPC) untuk menghentikan penyidikan yang dilakukan Ditjen
Pajak, harus kandas setelah PN Jakarta Selatan menyatakan permohonan
praperadilan KPC tak dapat diterima. Hakim tunggal sidang praperadilan Prasetyo
tersebut menyatakan permohonan praperadilan KPC tak masuk obyek praperadilan
sebagaimana diatur dalam Pasal 77 KUHAP.
Dirjen Pajak dan Departemen Keuangan harus segera
menyelesaikan kasus dugaan penggelapan pajak yang terjadi dalam kurun waktu
2003-2008 oleh PT Bumi Resources Tbk. Jika berlarut-larut justru menimbulkan
kecurigaan proses penyelesaiannya telah disusupi oleh mafia hukum. Selain
itu BEI (Bursa Efek Indonesia) harus aktif melakukan penyelidikan dugaan
penggelapan pajak, karena ini menyangkut perusahaan publik, yang seharusnya
semua laporan keuangannya terbuka. Kalau benar ada penggelapan
pajak, berarti ada yang disembunyikan dari publik.
SOLUSI
Dalam kasus dugaan penggelapan pajak oleh perusahaan Bakrie
Group, perusahaan mengemukakan bahwa dalam menghadapi masa sulit
diperlukan efisiensi. Berkaitan dengan hal tersebut, efisiensi yang paling
cepat untuk dapat dilakukan adalah dengan mengurangi pengeluaran, seperti
memanipulasi laporan pajak, mengurangi tenaga kerja, dan lain-lain. Alasan
efisiensi tersebut tak lain adalah konsekuensi dari globalisasi yang memadatkan
jarak dan waktu memang menuntut kompetisi ekonomi global menjadi kian sengit
dengan tenggat waktu yang amat cepat. Dengan demikian, sebuah transaksi bisnis
tak lagi memakan waktu yang lama seperti dahulu kala. Kini, untuk melakukan
transaksi bisnis antar benua bahkan cukup memakan waktu dalam hitungan detik
saja. Hal tersebut tentu menuntut perusahaan pada situasi yang amat kompetitif
yang menimbulkan konsekuensi ketat bahwa kegagalan berefisiensi akan membuat
perusahaan ketinggalan dan kehilangan kesempatan.
Efisiensi menjadi kata kunci bagi perusahaan untuk
mengejar keuntungan yang berpacu dalam persaingan global tersebut. Namun
menurut Robert Cooter, sesungguhnya efisiensi bukan sekadar dipacu oleh
persaingan global terlebih memang sejak awalnya sudah menjadi sifat pengusaha
untuk melakukan efisiensi dan maksimalisasi hasil usaha
Secara umum, kita dapat mengatakan bahwa ekonomi
menghasilkan sebuah teori tingkah laku/perilaku untuk memprediksi bagaimana
respon manusia terhadap perubahan-perubahan dalam hukum. Teori ini
melampaui intuisi, hanya sebagai ilmu sains yang melampaui akal biasa (common
sense). Ilmu Ekonomi memprediksi efek kebijakan terhadap efisiensi. Efisiensi
selalu berhubungan dengan pembuatan kebijakan, karena akan selalu lebih baik
mencapai semua kebijakan-kebijakan yang ada dengan biaya yang rendah daripada
dengan biaya yang tinggi. Pejabat umum tidak pernah menyokong uang yang
siasia/pemborosan.
Selain efisiensi,
Ilmu ekonomi yang juga memprediksi efek dari kebijakan-kebijakan dalam nilai
penting lainnya adalah distribusi. Diantara penerapan ilmu ekonomi itu terhadap
kebijakan publik adalah penggunaannya untuk memprediksi siapa sebenarnya yang
dibebankan berbagai macam pajak. Lebih daripada penelitian ilmu-ilmu sosial,
ahli ekonomi memahami bagaimana hukum memberi dampak terhadap distribusi
pendapatan dan kesejahteraan disegala lapisan sosial. Sementara ahli ekonomi
seringkali merekomendasikan perubahan untuk peningkatan efisiensi, mereka
mencoba menghindari sengketa tentang distribusi, biasanya memberikan
rekomendasi tentang distribusi kepada pengambil kebijakan (policy makers) atau
pemilih (voters).
DAFTAR PUSTAKA
Pengertian Penggelapan PajakRingkasan KUP Tentang Tindak Pidana Perpajakan
Contoh Kasus
Video
No comments:
Post a Comment